Keluarnya peraturan dari Kemenkeu terkait pajak jualan online menuai protes dari para pedagang online. Mereka menganggap peraturan yang tertuang di PMK No.210/PMK.010/2018 terlalu memberatkan dan meminta revisi aturan pajak jualan online agar diberikan kelonggaran.
Memberatkan Pedagang Kecil
Para pelaku UMKM dan pedagang kecil yang berjualan online menilai peraturan tentang pajak ecommerce dinilai memberatkan para pedagang kecil. Bahkan mereka mengancam akan berjualan diluar platform – platform yang ditegaskan dalam UU terbaru itu. Pasalnya berjualan diluar platform tersebut dinilai belum memiliki pengawasan yang ketat, misalnya berjualan di media sosial.
Hal ini mendorong idEA (Asosiasi e-commerce Indonesia) untuk meminta agar diadakan pertemuan dengan pihak Kemenkeu guna membahas peraturan yang baru saja disahkan ini.
Melihat perkembangan tersebut pihak Kemenkeu merespon dengan mengadakan pertemuan dengan idEA pada tanggal 14 Januari 2019. “Hari ini Kementerian Keuangan dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai telah mengadakan pertemuan dengan ,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti Senin (14/1/2019).
Revisi Aturan Pajak Jualan Online
Meskipun dalam pertemuan tersebut tidak membuahkan revisi aturan pajak jualan online, namun telah dicapai kesepakatan antara pihak Kemenkeu dengan para pedagang online kecil.
“Bagi yang belum memiliki NPWP, dapat memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. NIK dimiliki oleh seluruh penduduk,” Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemkeu Nufransa Wira Sakti memberikan keterangannya perihal hasil pertemuan tersebut.
Poin poin Kesepakatan Kemenkeu Dengan Assosiasi Pedagang Online
1. Pedagang atau penyedia jasa tidak wajib memiliki NPWP
Pada Bab III Peraturan pajak jualan online disebutkan bahwa pedagang online wajib memiliki NPWP. Dalam pertemuan tersebut akhirnya dicapai kesepakatan bahwa minimal hanya perlu mengupload NIK untuk dapat mulai berjualan online. Pasalnya masih banyak pedagang kecil yang omzetnya masih dibawah kriteria terkena pajak.
2. PMK Akan Terus Dikaji Kembali Dengan Melibatkan Asosiasi
Target penerimaan pajak bukanlah esensi dari peraturan pajak jualan online, namun lebih untuk mengembangkan ekosistem dan database e-commerce yang komprehensif. Database ini akan dianalisa guna memantau perkembangan e-commerce di Indonesia.
“Kemenkeu dan idEA juga sepakat untuk bekerjasama lebih erat ke depannya untuk merumuskan aturan pelaksanaan yang mengakomodir kepentingan seluruh stakeholder,” tambah Nufransa.
3. Pelaku usaha tidak akan berpindah ke platform media sosial
Sempat berhembus kabar para pedagang kecil akan meninggalkan marketplace Indonesia dan beralih berjualan ke media sosial yang notabene sulit dikontrol pemerintah. Dengan adanya kelonggaran dari Kemenkeu para pedagang kini berkomitmen untuk terus berjualan di marketplace dan menaati peraturan PMK yang baru ini dengan kelonggaran dari pihak Kemenkeu.
4. Data Pelaporan Yang Sederhana
Pada Bab II PMK yang baru mekanisme data pelaporan dari pedagang ke platform marketplace dinilai terlalu berbelit belit. Kini pihak marketplace terus beruoaya agar data laporan dirancang sesederhana mungkin agar tidak memberatkan penjual dan pembeli.
5. Mempermudah proses impor pengiriman barang e-commerce
Bab III PMK yang baru terdapat mekanisme import dengan skema standar kepabeanan saat ini. Dalam pertemuan ini diperkenalkan skema Delivery Duty Paid untuk impor barang kiriman guna kepastian dan transparansi proses impor barang agar kewajiban perpajakan melalui fasilitas penyedia Platform Marketplace lokal terpenuhu. Melalui skema ini, pembeli dan pedagang sama sama mendapatkan kemudahan dalam proses impor barangnya.